Membangun Indonesia dari Pinggiran

Faris Hafizh Makarim
4 min readSep 1, 2017

--

Sumber : http://ikasartika21.blogspot.co.id/2014/12/mirisnya-pendidikan-di-pelosok.html

Nusantara

Indonesia adalah negara yang sangat luas. Belasan ribu pulau yang bahkan tidak diketahui secara pasti berapa jumlahnya, luas yang hampir mencapai 2 juta kilometer persegi dengan sebagiannya merupakan bentangan perairan, dan keberagaman sumber daya alam yang tiada terhitung ini menggambarkan kekayaan alam yang sungguh melimpah. Lebih dari 220 juta kepala yang memperjuangkan nusantara yang berbicara lebih dari 721 bahasa dan terdiri dari lebih dari 1.300 suku bangsa, serta lebih dari 300 kelompok etnis tentunya melambangkan kekayaan nusantara[1]. Kaya, sungguh, kita sekaya itu. Dengan kekayaan itu, Indonesia sanggup menjadi negara yang menduduki peringkat atas dunia, menandingi negara-negara maju lainnya.

Suatu impian yang hanya menjadi pernak-pernik tidur nyenyak kita

Indonesia seharusnya bisa menandingi New Zealand dalam kesejahteraan[2], Norwegia dalam perkembangan manusia[3], dan Luksemburg dalam pendapatan perkapita[4]. Bisa, seharusnya bisa. Namun apa daya? Bahkan dari tingkat kesejahteraannya saja, Indonesia yang kaya ini ternyata masih berada di peringkat ke-61[5], puluhan peringkat di bawah negara-negara yang paling makmur di dunia. Bahkan, Mari kita lupakan sejenak tentang peringkat Indonesia dan melihat kembali ke dalam negeri ini. Ternyata ada 27,77 juta orang di Indonesia ini yang tergolong sebagai orang yang tidak sanggup memenuhi kebutuhannya[6]. Fakta tersebut diperparah lagi dengan ketimpangan luar biasa yang terjadi di Indonesia sampai memperoleh tingkat ke-4 sedunia dalam hal kesenjangan antara ‘si kaya’ dan ‘si miskin[7]. Bagaimana bisa menjadi yang terbaik jika rakyatnya saja tidak sejahtera?

Setitik harapan, sang pengubah nasib

Selalu ada jalan untuk kita semua, termasuk untuk Indonesia. Segala permasalahan yang terjadi di Indonesia, terutama di pelosok-pelosoknya, dari kemiskinan, ketimpangan, dan lain-lain tentu akan teratasi jika Indonesia memiliki sumber daya manusia yang baik. Indonesia membutuhkan pemimpin-pemimpin berkualitas yang mampu menyelesaikan segala problematika bangsa dengan menjadi pemimpin bagi, seminimal-minimalnya, dirinya sendiri. Pemimpin-pemimpin itulah yang dapat mengubah desa-desa, kota-kota, bahkan negara ini menjadi lebih baik, menjadi tempat yang dapat menjamin kesejahteraan bagi seluruh penghuninya. Maka dari itu, pendidikan adalah entitas yang menjadi kunci emas yang dapat membuka peti-peti permasalahan bangsa yang terkunci rapat. Pendidikan, sang pengubah nasib, penyelamat untuk Indonesia.

Pelosok Indonesia, keindahan yang memperkuat nusantara

Mungkin jika berbicara tentang Indonesia, kita tidak bisa melupakan pelosok, daerah-daerah yang jauh dari kota besar, karena daerah pelosok juga merupakan bagian dari Indonesia. Namun, masih banyak terdapat kekurangan yang terdapat di bagian-bagian lain Indonesia tersebut, seperti indeks pembangunan manusia yang rendah, infrastruktur yang terbatas, keterjangkauan yang sangat kurang, dan lain-lain. Meskipun begitu, daerah-daerah pelosok Indonesia ternyata merupakan lokasi yang menjadi harapan besar Indonesia dalam perkembangan negara Indonesia. Demi mencapai Indonesia yang berdaulat secara politik, mandiri ekonomi, serta memiliki kepribadian yang berkebudayaan, Indonesia berkomitmen untuk membangun Indonesia dari pinggiran dengan cara memperkuat daerah-daerah dan desa-desa[8]. Hal tersebut membuktikan bahwa desa-desa seharusnya menjadi target utama pembangunan Indonesia. Lagi-lagi pendidikan merupakan kunci dalam membangun pelosok Indonesia karena siapa lagi yang bisa membangun suatu daerah kalau bukan orang-orangnya sendiri. Namun, ternyata masih banyak masalah dalam aspek pendidikan di daerah itu sendiri. Di daerah pedesaan, baru 19,76% saja yang mengikuti Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)[9]. Dengan kecilnya partisipasi PAUD, terjadi banyak kasus anak-anak SD, terutama di kelas 1, yang tidak bisa membaca. Hal tersebut tentu berpengaruh dalam pendidikan di SD. Bicara tentang literasi, ternyata nilai Angka Melek Huruf (AMH) pedesaan hanyalah 95%, tidak setinggi perkotaan yang senilai 98%[10]. Selain itu, Angka Partisipasi Murni (APM) Sekolah Dasar untuk pedesaan adalah 96,66%, APM SMP senilai 76,23%, APM SM senilai 54,04%, dan APM Perguruan Tinggi hanya senilai 10,99%[11]. Rata-rata lama sekolah untuk daerah pedesaan hanya bernilai 7,18 tahun, tidak seperti daerah perkotaan yang bernilai 9,56 tahun[12]. Data tersebut membuktikan bahwa terjadi krisis untuk melanjutkan sekolah di daerah pedesaan. Biasanya yang menjadi penyebab hal tersebut adalah karena tuntutan ekonomi keluarga yang mengharuskan anak untuk bekerja, sekolah jenjang berikutnya yang tidak terjangkau, atau karena ketidakpedulian masyarakat terhadap pendidikan. “Untuk apa sekolah kalau aku bisa mendapatkan uang dengan berkebun dan melaut?”

Lalu apalagi yang kita tunggu? Apakah kita hanya akan duduk-duduk dan membiarkan semuanya terjadi di depan mata kita? Mari kita berdiri dan berlari. Mari kita loncati pagar-pagar kampus dan rumah kita dan lihat apa yang sebenarnya terjadi di Nusantara. Bangunlah negeri ini, bangunlah dari pinggiran, lewat pendidikan.

Daftar Pustaka
1. https://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia
2. http://www.prosperity.com/rankings
3. http://hdr.undp.org/en/composite/HDI
4. https://bursanom.com/negara-terkaya-di-dunia/
5. http://www.prosperity.com/rankings
6. http://wartakota.tribunnews.com/2017/07/18/per-maret-2017-jumlah-penduduk-miskin-indonesia-27-77-juta-orang
7. https://kumparan.com/manik-sukoco/lebarnya-ketimpangan-ekonomi-indonesia
8. http://nasional.kompas.com/read/2014/05/21/0754454/.Nawa.Cita.9.Agenda.Prioritas.Jokowi-JK
9. Potret Pendidikan Indonesia Statistik Pendidikan Indonesia, hlm 23
10. Potret Pendidikan Indonesia Statistik Pendidikan Indonesia, hlm 72
11. Potret Pendidikan Indonesia Statistik Pendidikan Indonesia, hlm 37
12. Potret Pendidikan Indonesia Statistik Pendidikan Indonesia, hlm 67

--

--

Faris Hafizh Makarim
Faris Hafizh Makarim

Written by Faris Hafizh Makarim

“Justru mimpilah yang membuatmu tidak tidur”

No responses yet